Minggu, 17 Agustus 2008

JK: Pakai Merek Nama Indonesia



JAKARTA--Wapres M Jusuf Kalla meminta pelaku industri hortikultura Indonesia untuk melakukan penamaan (branding) produk buah dalam negeri dengan nama-nama Indonesia dengan tetap memperhatikan jaminan mutu agar langkah itu tidak merugikan image komoditas tersebut di pasaran."Untuk itu, kita perlu melakukan penamaan (nama-nama Indonesia) secara bertahap dan itu dikaitkan dengan pemberian image produk melalui sistem jaminan kualitas, grading, branding dan pengemasan yang prima baik sesuai dengan permintaan pasar," kata Dirjen Hortikultura Departemen Pertanian Ahmad Dimyati Dimyati mengutip Wapres Jusuf Kalla pada konferensi pers usai pertemuan dengan Wapres di Jakarta, Senin.Wapres Jusuf kalla menerima beberapa orang yang peduli dengan produk dalam negeri dan berkeinginan melakukan gerakan untuk nasionalisasi merk-merk (branding) produk dalam negeri, seperti buah-buahan, rumah sakit maupun yang lainnya. Hadir dalam pertemuan tersebut antara lain pakar komunikasi Effendy Gozali, Dirut PT Sido Muncul Irwan Hidayat, Diurt Mekar Sari Harry Tjanyono, peneliti Sobir, Dirjen Hortikultural Deptan Ahmad Dimyati dan lainnya.Menurut Dimyati, dalam pertemuan tersebut Wapres menyatakan mendukung gerakan masyarakat pendukung nasionalisasi branding produk buah Indonesia. Selama ini, beberapa produk dalam negeri ketika dipasarkan menggunakan nama-nama luar. Dimyati memberikan contoh seperti pepaya hasil penelitian ITB dengan varietas IPB 6, ternyata di pasarkan dengan nama Pepaya Bangkok. Sedangkan Pepaya IPB 9 dipasarkan dengan nama Pepaya Jamaika.Dimyati mengakui penamaan buah dengan menggunakan nama asing selama ini dinilai merugikan pencipta produk tersebut karena penciptanya tidak mendaftarkan varitas tersebut ke lembaga perlinduingan branding produk hasil pertanian. Untuk itu, dia mengatakan penamaan kembali produk yang sudah terlanjur digunakan negara lain itu perlu dilakukan.Menurut dia, selain itu untuk bisa menguasai pasar dalam negeri,pelaku industri buah-buahan juga perlu menjamin kontinuitas suplaimelalui pengembangan teknologi. Dimyati mencontohkan teknologi yang tengah dikembangkan Departemen Pertanian untuk menciptakan buah mangga yang tidak mengenal musim panen sebagaimana mangga konvensional."Sekarang dikembangkan berbagai teknologi pembuahan di luar musim, misalnya mangga di luar bulan panen konvensional, " katanya.Sementara itu, Dirut PT Sido Muncul, Irwan Hidayat, mengakui konsumen dalam negeri lebih memilih produk dengan nama asing karena image produk tersebut di pasaran lebih bernilai. Akan tetapi dia menyebutkan untuk mempromosikan produk dengan branding dalam negeri diperlukan upaya untuk menggugah rasa nasionalisme melalui penamaan produk tersebut."Gerakan ini supaya menggugah orang memulai menyadari apakah kalau memakai nama indonesia harus lebih murah. Orang beri nama California, Jamaika, jadi mahal padahal rusak buah itu karena dikirim dari jauh," katanya saat didampingi konsultan komunikasi Efendi Gozali, pakar pertanian dari Institut Pertanian Bogor Sobir serta Harry Tanjung dari kelompok usaha Mekar Sari.Irwan menyatakan pada dasarnya produk dalam negeri tidak kalah dengan produk dari luar. Begitu juga dengan tenaga ahli di berbagai sektor, termasuk konsultan untuk pembangunan bandara yang bisa lebih murah sampai 50% dibandingkan dengan menggunakan tenaga asing."Apakah dengan nama kita, kita menjadi tidak bernilai, bahkan apakah meski dari luar lebih baik. Yang paling memahami masalah di dalam negeri adalah bangsa sendiri," ujar dia menegaskan. (antara/pur) Republika.co.id

Senin, 11 Agustus 2008

Terlambat, Membangun Merek PON Kaltim

UPAYA membangun merek PON XVII Kaltim sebagai event olahraga akbar yang ditunggu-tunggu masyarakat pelaksanaannya, dipastikan sudah terlambat. Tidak cukup waktu untuk mengejar ketertinggalan. PON Kaltim akhirnya hanya akan menjadi sebuah event olahraga biasa, yang kesemarakannya hanya dirasakan pada saat pembukaan dan penutupan.
”Saya melihat, tidak ada upaya komunikasi pemasaran terpadu untuk membangun merek PON Kaltim. Bagian promosi sibuk dengan urusan mencari sponsor, sementara Pemerintah atau sub PB PON sibuk dengan urusan membangun venue. Tidak ada yang ngurusi komunikasi pemasaran untuk membangun merek PON Kaltim sebagai sebuah even akbar olahraga nasional,” kata Eko Satiya Hushada, konsultan merek dan public relation PT Esa Communications, kemarin.
Membangun merek dimaksud, menurut Eko, yakni membangun iklim kesemarakan PON di masyarakat. Ukuran kesuksesan merek PON (ekuitas merek), yakni ketika terbangun iklim demam PON di masyarakat. ”Di sana sini orang membicarakan PON. Masyarakat menunggu dan bahkan ikut terlibat menyambut event ini. Sekarang, jangankan demam PON, nuansa PON saja tidak dirasakan,” kata Eko, yang juga dosen Ilmu Komunikasi Fisipol Unmul ini.
Dikatakan, seharusnya PB PON memisahkan bagian promosi dengan urusan penggalangan dana. Karena urusan membangun merek tidak bisa dibebankan dengan kewajiban mencari sponsor.
”Akhirnya ya seperti ini, urusan penggalangan sponsor tidak maksimal, urusan membangun merek PON tidak dilakukan,” ujarnya.
Menurut Eko, membangun iklim demam PON tidak cukup dengan hanya memasang baliho dan umbul-umbul. Tetapi lewat sebuah aktivitas komunikasi pemasaran terpadu. Komunikasi pemasaran adalah bauran antara strategi komunikasi dan pemasaran.
Pemasangan baliho atau umbul-umbul, menurut Eko, hanya satu dari sekian aktivitas komunikasi pemasaran, yang masuk dalam aktivitas promosi. Untuk promosi, agar maksimal, harus menggunakan semua lini, yakni above the line (ATL) dan Below the Line (BTL). ATL adalah promosi di media massa, sementara BTL non media massa seperti bilboard, umbul-umbul dan event.
”Strategi yang efektif, yakni strategi word of mouth (WOM) atau strategi dari mulut ke mulut. Di strategi ini ada yang disebut buzz marketing, yakni menggunakan kegiatan hiburan atau berita yang menarik, agar orang membicarakan merek Anda, dalam hal ini PON. Ada lagi yang disebut dengan community marketing, yakni membentuk atau mendukung ceruk komunitas yang dengan senang hati membagi ketertarikan mereka terhadap brand,” bebernya.
Menjual PON, menurut Eko, sama dengan menjual produk. Pemilik brand jauh hari sudah harus melakukan aktivitas brand, ibaratnya pra launching. Misalnya dengan menggelar kegiatan olahraga baik sekala kecil maupun besar.
”Selama satu tahun, misalnya, tidak ada hari tanpa event olahraga baik di tingkat kabupaten kota, kecamatan bahkan kampung. Pokoknya, ramai terus,” ujar Eko.
Kemudian, di sana sini para pedagang sudah menjual berbagai macam hal yang berkenaan dengan PON, mulai dari baju hingga merchandise. ”Yang terjadi sekarang, masyarakat cuek dengan PON, karena tidak merasa bagian dari PON itu sendiri. Sejak awal tidak dilibatkan. Masyarakat tahunya, bahwa PON ribut ini, ribut itu, sampai-sampai ada cagub yang disebut sontoloyo karena dinilai tidak peduli dengan PON. Inilah tingkat kecamuhan PON yang sudah sangat luar biasa,” ujar Eko, yang juga konsultan merek salah satu cagub.
Menurut Eko, sudah terlambat untuk membangun iklim semarak PON. Kalau pun mau, paling hanya sebatas memasang bilboard, iklan di koran dan beberapa aktivitas promosi lainnya.
”Banyak pelajaran yang bisa ditarik dari PON Kaltim ini. Kesimpulannya, kita tidak siap menjadi tuan rumah. Ukuran kesuksesan PON tidak hanya pada kesiapan venue, tetapi juga keterlibatan masyarakat. PON Kaltim tidak berhasil menjadi merek sebuah even akbar olahraga nasional,” ujar Eko (**)