Rabu, 03 Juni 2009

Minggu, 31 Mei 2009

Merek ala Warung Jenggo


MALAM kemarin saya dan seorang sahabat sempat nongkrong di Warung Jenggo. Untuk teman yang berada di luar Kaltim, perlu penjelasan singkat pengertian warung Jenggo. Karena warung ini hanya dapat ditemui di Kaltim dan Kalsel. Sebuah warung yang beroperasi hanya malam hari hingga menjelang subuh, dengan menu makanan yang dijejer sepanjang meja.
Warung jenggo bisa juga disebut sebagai warung kejujuran, karena makan dulu sepuasnya, bayarnya belakangan dengan cara menyebut apa saja yang sudah dimakan dan diminum, sementara si petugas warung menghitungnya dengan kalkulator.
Banyak keunikan dari warung ini. Lokasinya di kaki lima –-rata-rata di atas parit berlantai kayu, banyak nyamuk dan hanya diterangi lampu petromak, namun dikunjungi tak hanya konsumen bersarung, tetapi juga konsumen pengendara mobil mewah seri terbaru, dari remaja hingga nenek-kakek yang ditemani cucunya.
Menu makanannya beragam, mulai dari kue jajanan pasar, kacang tanah goreng dibungkus plastik, sate usus hingga nasi yang lauknya juga beragam; nasi kebuli dengan telur dadar diiris, nasi daging bistik dan nasi rendang. Ada juga pilihan mie instan –rata-rata mie rasa presiden—dan telur ayam kampung setengah matang. Minuman khasnya; STMJ alias susu telur madu jahe.
Warung tradisional dengan segala keunikan dan ke-khasannya ini tak bisa dipungkiri menjadi salah satu model bisnis dengan mengandalkan kekuatan merek. Pemilik warung setiap harinya menjual makanan yang diterima dari pemasok, yang tak lain adalah para pengusaha rumah tangga. Setiap jam 3 sore, para pemasok sudah mulai menitipkan makanannya untuk dijual. Beberapa warung jenggo pun dititipi jenis makanan yang sama. Dengan rasa yang sama, harga penjualan pokok (HPP) yang sama dan kemasan yang sama. Sementara pemilik warung hanya menyiapkan mie instan, telur ayam, susu, teh dan gula. Tak perlu modal besar. Yang diperlukan adalah kesiapan layanan untuk membuat warung laris manis.
Dari pengamatan saya, di Samarinda hanya ada 2 warung jenggo yang lebih menonjol dalam hal jumlah pengunjungnya. Warung pertama, yakni yang berada di depan Samarinda Central Plaza (SCP). Kedua, di dekat markas pemadam kebakaran atau bersebelahan dengan Planet Mini Market. Yang lainnya cenderung sepi.
Kenapa dua warung jenggo ini lebih ramai dibanding warung jenggo lainnya? Padahal makanan yang dijual sama saja satu dengan yang lainnya, karena dipasok oleh pemasok yang sama. Ternyata pemilik warung mencoba memberi nilai lebih pada warung jenggonya sehingga menjadi pembeda (diferensiasi) dibanding warung sejenis lainnya. Menurut si pemilik warung dalam perbincangan singkat dengan saya beberapa waktu lalu, pembeda dimaksud antara lain pada mutu makanan. Menurut dia, mereka sangat selektif memilih makanan yang dipasok. Makanan harus benar-benar baru, bukan makanan dua hari lalu yang digoreng kembali karena tidak laku dari warung jenggo lainnya.
Pembeda kedua, yakni pada kualitas rasa STMJ yang memang mereka olah sendiri. Si pemilik warung memberi takaran yang pas agar STMJ tidak terlalu cair, tidak terlalu pedas dan dengan air yang super panas. Namanya juga minuman pemanas tubuh, apa rasanya jika airnya hangat-hangat kukuh. Ini pula yang ditemui di sejumlah warung jenggo yang sepi pengunjung itu.
Hal lainnya adalah pada soal layanan yang harus cepat dalam menyajikan pesanan konsumen.
Akhirnya, diferensiasi yang dilakukan pemilik warung jenggo ini membuat mereknya lebih kuat dibanding pesaingnya. Selektif dalam kualitas makanan yang dipasok serta layanan yang cepat, menjadi pilihan positioning nya. Warung jenggo menjadi salah satu model bisnis merek. Ini karena si pemilik warung percaya, bahwa makanan yang ia jual boleh saja sama, dijual juga di warung jenggo lainnya, tapi ia harus lebih unggul dalam beberapa hal untuk menjadikan ia lebih dipilih dibanding warung jenggo lainnya; diferensiasi, positioning & brand. Pemilik jenggo ini sadar, merek itu penting! (*)

Senin, 11 Mei 2009

Ayo, ‘Selingkuh’ dengan Konsumen!


HARI Minggu kemarin saya diajak istri ke salah satu pusat perbelanjaan di Samarinda untuk membeli kado anak sahabatnya yang berusia 3 tahun, perempuan, sedang centil-centilnya. Baju menjadi pilihan untuk dijadikan kado.
Di toko baju, saya menunjuk salah satu baju anak perempuan yang dipajang. ”Ini bagus. Sederhana tapi lucu kalau dipakai,” begitu kata saya. Tetapi ternyata istri saya nggak setuju. Katanya, baju yang saya tunjuk itu bakalan tidak dipakaikan ke anak sahabatnya, karena itu bukan seleranya.
”Selera mamanya ya yang begini ini. Semakin menor dan norak, semakin suka dia. Kalau kita kasih yang ayah kasih tunjuk itu, mana mau dipakainya,” ujar istri saya.
Ternyata istri saya sangat memahami selera dan prilaku sahabatnya. Mereka memang sudah berteman sejak beberapa tahun lalu. saling berbagi, teman diskusi atau bahkan curhat. Apapun tentang sahabatnya, istri saya tahu semuanya. Nomor sepatu, warna favoritnya, makanan kesukaannya hingga isi dompetnya.
Karena itu, ada semacam saling ketergantungan dan saling mengisi. Jika tak bertukar kabar dua hari saja, istri saya gelisah. ”Apa kabar dia ya? Apa sakit? Apa teleponnya rusak? Atau, apa ya? Nggak ada kabarnya sudah dua hari,” begitu kira-kira yang ada di fikiran istri saya jika tak ada kontak dengan sahabatnya.
Dalam marketing, memahami secara mendalam prilaku dan pemikiran konsumen (consumer insight ) menjadi syarat mutlak. Kita tak mungkin mampu menciptakan produk yang bisa diterima pasar jika kita sendiri tak memahami konsumennya. Bagaimana mungkin kita dapat menciptakan pola layanan jika kita tak memahami secara mendalam prilaku konsumen.
Di status Facebook hari ini saya menuliskan bahwa inti dari marketing itu adalah PDB, singkatan dari positioning, diferentation & brand. Tanpa PDB, produk/jasa akan menjadi massal (me too) dan gampang dicontoh oleh pesaing.
Lantas, apa hubungannya consumer insight dengan PDB? Sangat berkaitan. Untuk menentukan positioning harus melalui pemahaman yang mendalam terhadap konsumen. Begitu juga menciptakan diferensiasi dan merek (brand).
Untuk menggali informasi yang lebih mendalam pada konsumen, bisa dilakukan lewat riset etnografi. Di buku Qualitative Research Methods in Public Relation & Marketing Communications karya Christine Daymon & Immy Holloway disebutkan, riset Etnografi membawa peneliti membenamkan diri ke dalam sebuah kelompok, organisasi atau komunitas di lapangan dalam waktu yang lebih panjang. Artinya, kita yang sedang ingin menggali lebih dalam prilaku, kebiasaan dan pemikiran konsumen, ikut dalam kehidupan konsumen dalam waktu yang lebih panjan dibanding riset lainnya.
Riset etnografi ini bisa dilakukan siapa saja, termasuk Anda. Tentukan jenis produk apa yang akan Anda ciptakan, layanan seperti apa yang akan Anda berikan kepada konsumen. Setelah menentukan segmentasi, pilih dua atau tiga konsumen yang dapat mewakili konsumen lainnya untuk dijadikan sample. Setelah itu, hiduplah bersamanya dalam beberapa waktu. Catat semua prilakunya, kebiasaannya dan isi fikirannya. Setelah itu, Anda dapat membuat kesimpulan yang dapat menjadi dasar dalam menciptakan produk, menentukan positioning, diferensiasi dan merek.
Tak pun melakukan riset yang sistematis dan ilmiah, memahami konsumen lebih mendalam dapat dilakukan dengan cara lebih dekat dengan konsumen. Agar lebih dekat, saya menganjurkan agar Anda ’selingkuh’ dengan konsumen. Namun, bukan selingkuh dalam bingkai asmara. Intinya, dekatlah dengan konsumen, pahami secara mendalam prilaku dan isi fikiran konsumen Anda. Kedekatan Anda juga akan membangun hubungan yang berujung pada loyalitas pelanggan. (*)

Jumat, 08 Mei 2009

Rebranding tak Sekedar Rebonding



KEMARIN pagi saya mencukur habis rambut saya. Walau sebelumnya memang selalu cepak, tapi kali ini benar-benar plontos. Ketika tiba di kantor, anak-anak tampak kaget dan bertanya,”rebranding nih, bos?” Sekenanya aja saya menjawab,”Iya, jadi lelaki yang lebih macho dan seksi.” Padahal, urusan rambut plontos ini hanya karena persoalan teknis; cukur rambut yang sudah saya pakai sejak 10 tahun lalu itu tumpul sehingga membuat rambut saya coel. Langsung saja dicukur habis. Hehehe…
Dalam beberapa hari ini kata re-branding agak sering saya tulis di status Facebook saya. Menjadi lebih sering lagi ditulis karena sempat menjadi diskusi dengan sejumlah sahabat. “Wiranto (cawapres Golkar-Hanura) perlu rebranding, karena brand crisis kah, regulation change kah atau customer change?” tanya Yusan Triananda, salah seorang sahabat, bos Mesra Group.
Re-branding bukanlah rebonding. Bahkan pengertiannya pun berbeda. Jika rebonding meluruskan rambut, re-branding, singkatnya adalah melakukan perubahan menyeluruh pada unsur-unsur merek, baik secara produk, marketing maupun komunikasi.
Pada ‘kamus terbuka’ Wikipedia disebutkan, rebranding is the process by which a product or service developed with one brand, company or product line affiliation is marketed or distributed with a different identity. This may involve radical changes to the brand's logo, brand name, image, marketing strategy, and advertising themes. These changes are typically aimed at the repositioning of the brand/company, usually in an attempt to distance itself from certain negative connotations of the previous branding, or to move the brand upmarket.
Untuk melakukan rebranding biasanya terlebih dahulu mengukur kinerja merek. Jangan sampai rebranding hanya dilakukan karena ingin suasana baru atau penyegaran merek. Pertimbangan ini hanya akan merusak merek di pasar.
Mengukur kinerja merek yakni pada tingkat kedikenalan merek (Brand Awareness), tingkat pemahaman merek (Brand Knowledge), tingkat persepsi merek (Brand Image), tingkat kedipilihan merek (Brand Preference) serta tingkat loyalitas konsumen pada merek (Brand Loyality).
Brand awareness menjadi syarat utama bagi sebuah merek. Dikenal dulu, baru dibeli. Bagaimana mungkin sebuah merek kuat di pasar atau di benak konsumen jika ia tak dikenal. Tapi ada juga merek yang sudah sangat dikenal, tetapi tidak dipilih atau dibeli. Berarti, ia lebih dikenal sebagai merek yang negatif.
Mengukur brand knowledge, berarti mengukur tingkat pemahaman konsumen terhadap merek. Ini lebih kepada pemahaman manfaat pada merek.
Sementara mengukur brand image adalah mengukur tingkat persepsi konsumen terhadap merek. Jika pemilik merek membangun persepsi mereknya sebagai produk yang memberi manfaat ramah lingkungan namun ternyata yang terbentuk di benak konsumen adalah manfaat yang sebaliknya, berarti perlu dilakukan rebranding.
Tingkat kedipilihan merek, yakni mengukur seberapa tingginya keinginan konsumen memilih merek kita dibanding merek pesaing. Terakhir, mengukur tingkat loyalitas merek. Artinya, seberapa loyalnya konsumen pada merek kita. Loyal di sini tak sekedar melakukan pembelian berulang, namun sudah pada tingkat konsumen yang menjadi evangelist (pembicara, merekomendasikan) bagi merek kita. Jika merek kita sudah mencapai tingkat cult brand (merek yang dipuja/merek sudah menjadi agama), berarti anda harus menjauhkan dari keinginan melakukan rebranding.
Melakukan rebranding juga biasanya berdasarkan pertimbangan Brand Crisis, Competitor Change, Regulation Change atau Strategic Change dan
Customer Change. Sebagaimana pertanyaan sahabat saya, apa yang mendasari Wiranto harus melakukan rebranding, tak lain adalah atas pertimbangan brand crisis. Ini karena pada Wiranto melekat persepsi merek bahwa ia sebagai pelaku pelanggaran HAM.
Lantas, apakah dalam melakukan rebranding, semua unsur merek harus diubah? Tergantung kebutuhannya. Re-Branding bisa dilakukan dengan lima cara, yakni Re-Branding on Strategy, Positioning, Identity, Communication dan atau Re-Organize Branding Management. Pilih salah satunya.
Yang pasti, rebranding tak hanya sekedar ‘meluruskan’ persoalan yang dihadapi merek. Tetapi membangun kembali ‘wajah’ baru, dengan kekuatan positioning baru, identitas merek baru, strategi marketing yang baru dan komunikasi yang baru. Jangan lupa; diferensiasi & value. Jika boleh meminjam istilah tata rambut, rebranding tak sekedar rebonding.

Senin, 04 Mei 2009

Tahun Kunjungan Kaltim: Mau Jualan Apa?

KALTIM POST, 3 MEI 2009


DALAM beberapa hari belakangan ini, di sejumlah ruas jalan di Samarinda dipasangi spanduk dan baliho promosi tahun kunjungan Kaltim atau Visit East Kalimantan 2009. Jumlahnya tidak cukup banyak. Ada yang memuat foto Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim mengenakan atribut Suku Dayak, ada juga spanduk bertuliskan ’Ayo Tamasya ke Kaltim’.
Saya menyebut program ini sebagai program ’jualan diri setengah hati’. Mau jualan dan berharap laku, tapi tidak melakukan upaya marketing yang maksimal agar produknya diketahui konsumen, konsumen tertarik dan kemudian membelinya.
Kita mulai dari produk. Ketika Pemerintah Kaltim mencanangkan program kunjungan Kaltim, pertanyaanya kemudian, Kaltim mau jualan apa? Positioning apa yang dibangun Kaltim? Kaltim sebagai daerah wisata alam? Wisata belanja, kuliner atau wisata budaya?
Jakarta yang lebih dulu melaksanakan program ini dengan slogan Enjoy Jakarta, membangun positioning-nya sebagai surganya belanja, makanan, budaya dan kota dengan sejumlah tempat peninggalan bersejarah. Ada banyak pilihan tempat belanja mulai dari pasar tradisional hingga mal. Ada banyak pilihan tempat makan mulai dari warung kaki lima pusat kuliner hingga restoran. Juga banyak peninggalan bersejarah yang dibangun sejak 500 tahun lalu serta kekayaan budaya betawi.
Semua dijual secara terintegrasi dalam satu paket ’Enjoy Jakarta’, yang didukung oleh sebuah strategi pemasaran yang baik. Tak sekedar spanduk atau baliho. Kaltim seharusnya belajar banyak dari Jakarta.
Dalam sebuah kegiatan ’masyarakat public relation’ di Jakarta beberapa pekan lalu, saya sempat bertemu dengan Rhenald Kasali, pakar bisnis dan ketua program pasca sarjana ilmu manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dari ngobrol singkat itu, saya baru tahu bahwa penulis buku laris ’Change!’ itu adalah konsultan ekonomi bisnis Pemprov Kaltim. Sayangnya, saya lebih banyak bicara soal ke-PR-an ketika itu, sehingga luput bertanya soal keterlibatannya di program Visit East Kaltim 2009. Tapi saya yakin, Dinas Pariwisata Kaltim pasti tidak minta pendapat Rhenald Kasali untuk program Visit East Kalimantan ini, sehingga tidak maksimal dalam berjualan. Jika marketing tidak digarap dengan benar, jangan berharap dagangan laku terjual.
Tak sedikit memang yang mengira bahwa marketing hanya sekedar selling (menjual). Padahal, ini dua hal yang berbeda. Tak sedikit pula yang terjebak bahwa sukses jualan ada para kekuatan beriklan dan promosi. Hal ini hanya mendukung awarenes (pemahaman), tidak sampai pada upaya mempengaruhi fikiran konsumen untuk membeli, apalagi mencapai ekuitas merek (produk yang dibicarakan, dipilih dan direkomendasikan kepada orang lain).
Dalam marketing, positioning adalah salah satu unsur mendasar. Di positioning mengandung dua unsur utama, segmentasi dan diferensiasi (pembeda). Tentukan segmentasi pasar, kemudian tentukan apa yang membedakannya dengan merek lain.
Kaltim tidak melakukan semua ini. Saya melihat, semangat Visit East Kalimantan 2009 hanya sebatas menjual pariwisata. Ini pun perlu dipertanyakan, pariwisata mana yang mau dijual? Ini tidak cukup tergambar.
Tak hanya pariwisata alam, Kaltim sebenarnya punya potensi yang besar untuk menjual kulinernya. Ini karena kekayaan hasil laut dan sungainya. Ditambah dengan banyaknya restoran atau rumah makan. Belum lagi masakan khas Banjar yang banyak digemari. Hanya, tidak ada campur tangan Pemerintah Daerah untuk menjadikan potensi ini sebagai sebuah kekuatan, misalnya dengan menjadikan sebuah kawasan di Samarinda atau Balikpapan sebagai kawasan wisata kuliner.
Lantas, upaya promosi apa yang dilakukan Pemprov Kaltim untuk mensukseskan program Visit East Kalimantan 2009 ini? Ternyata tidak juga maksimal. Ironisnya, untuk mencari tahu apa yang bisa dikunjungi di Kaltim lewat dunia maya, tidak menemukan jawaban. Tidak ada Kaltim official travel website. Ketika mencari Kaltim di fasilitas pencari google, yang pertama muncul adalah website milik Pemprov Kaltim, kemudian website Kaltim Post dan disusul beberapa website dengan konten Kaltim lainnya.
Bahkandi website Pemprov Kaltim, tak satupun web yang bicara soal program ini. Tak ada semangat Visit East Kalimantan 2009 yang tergambar di sana. Bisa jadi, Pemrov Kaltim khususnya Dinas Pariwisata Kaltim belum menyadari bahwa internet kini menjadi sarana efektif untuk promosi yang dapat menghubungkan masyarakat di bumi satu sama lainnya. Selain dapat menyajikan informasi, internet juga efektif untuk menciptakan buzz marketing.
Di daerah sendiri, tidak tampak sebagai daerah yang sedang jualan. Bagaimana mau laku, bersolek saja tak. Mulai dari pintu kedatangan di bandara, pusat kerajinan maupun oleh-oleh Kaltim, sama sekali tak menggambarkan bahwa Kaltim sedang bersiap-siap menerima tamu yang berkunjung ke Kaltim.
Dalam soal pesan dan pilihan media, lagi-lagi tidak tepat. Bagaimana bisa selembar spanduk bertuliskan ’Ayo Tamasya ke Kaltim’ dipasang di Samarinda yang berarti target pesan ditujukan kepada orang Kaltim, atau orang yang sedang berada di Kaltim. Spanduk dengan pesan seperti ini lebih tepat dipasang di daerah lain dengan pilihan lokasi, di bandara misalnya. Untuk apa orang Kaltim disuruh berwisata ke Kaltim?
Dinas Pariwisata juga mengatakan bahwa mereka secara rutin menggelar promosi di Taman Mini Indonesia. Pertanyaannya, mengapa Taman Mini Indonesia menjadi pilihan tempat berpromosi? Apakah benar pengunjung Taman Mini adalah target dari program ini? Mengapa tidak melakukan promosi di Mal, misalnya. Buka saja satu stand. Lengkapi brosur dan alat kampanye lainnya. Sertakan juga Hudoq sebagai pemikat. Bisa juga di bandara kedatangan internasional, yang sudah pasti banyak target market di sana.
Saya pesimis program ini sukses. Slogan ’Kaltim untuk Semua’ yang mengiringi pencanangan Visit East Kaltim oleh Gubernur Awang Faroek Ishak beberapa waktu lalu, bisa saja berubah menjadi ’Kaltim untuk Bubuhannya Jua..”. (*)

Minggu, 29 Maret 2009

Brand is Trust, Brand is Value

Oleh: Eko Satiya Hushada

DUA pekan lalu saat di Jakarta, saya mengalami kejadian yang sangat tak mengenakkan. Walau separohnya adalah kelalaian saya, tetap membuat hati ini tak nyaman.
Ceritanya berawal dari telepon seorang sahabat yang mengajak makan malam, sekaligus membicarakan rencana presentasi di depan Dirjen Dephut berkenaan dengan proyek yang sedang saya kerjakan. Karena baru tiba di Jakarta malam hari, sehingga hanya sempat meletakkan tas di hotel di bilangan Gatot Subroto. Saya pun kembali jalan dengan menggunakan taksi.
Saking terburu-burunya, saya mengambil taksi apa aja yang kebetulan menurunkan penumpang di depan lobi hotel. Biasanya, di Jakarta saya hanya mau taksi Blue Bird. Taksi ini memberi rasa aman dan nyaman. Walau tidak terlalu hafal jalanan ibukota, tapi tak pernah saya dibawa mutar-mutar oleh sang sopir untuk membengkakkan angka di argo. Kali ini, saya mempercayakan taksi dengan nama JC (inisial) dengan body warna putih. Yang penting cepat sampai, begitu kalimat dalam hati.
Kebetulan pula, saat naik ke dalam taksi, saya sedang menerima telepon. ”Senayan City, Bang,” kata saya sambil terus menelpon. Setelah bicara di telepon cukup lama, saya tak lagi melihat-lihat argo dan baru melihatnya ketika taksi memasuki halaman Senayan City. Rp71.000, demikian tertulis di argo. Saya pun kaget. ”Betul itu Rp71 ribu?,” tanya saya ke sopir muda penggemar house musik itu. Karena sepanjang jalan, sopir yang hanya mengenakan kaos oblong, bukan baju seragam dinas itu menyalakan lagu yang biasa dipakai di diskotek.
”Betul, Pak,” jawabnya. Saya pun mulai emosi. ”Kau kalau mau bohong, jangan sama aku. Salah orang kau!. Pasti angkanya tidak mulai dari nol tadi” kata ku lagi. ”Betul, Pak. Dari nol,” jawabnya. Tak enak karena di belakang mobil lain mulai ngantri, saya pun membayarnya, karena saya sadar separohnya memang kesalahan saya; tak melihat argo sejak awal. Padahal normalnya Gatot Subroto ke Senayan City, semahal-mahalnya paling Rp25 ribu. Itu sudah pakai macet.
”Seumur hidup, aku tak akan menginjakkan kaki ku ke taksi mu,” kata saya menggerutu dalam hati. Kepercayaan saya sudah hilang, saya sudah menghapus bahkan mem-black list nama JC di benak saya untuk urusan angkutan di Jakarta walau dalam keadaan kepepet sekalipun. Brand is trust!
***
Di tengah hiruk pikuk kampanye Pemilu Legislatif 2009, foto wajah caleg berhamburan di jalanan, mulai dari jalan protokol hingga jalan kampung. Dengan sistem suara terbanyak, semua caleg memang punya peluang yang sama untuk lolos ke gedung wakil rakyat. Jadi, jangan kaget dan jengah jika melihat banyaknya alat kampanye saat ini.
Semua caleg berupaya tampil kreatif, mencuri perhatian pemilih. Mulai dari foto ala model hingga slogan heroik. Para caleg kita sudah sadar marketing, bahwa salah satu upaya membangun merek adalah membangun brand awareness (pemahaman merek) dan diferensiasi. Membangun brand awareness dilakukan lewat pemanfaatan media above the line (ATL) maupun below the line (BTL), sementara diferensiasi dilakukan dengan pilihan foto, slogan, tema kampanye dan sebagainya. Walau tak sedikit kreatifitas caleg membuat kita geleng-geleng kepala, miris.
Kepada sejumlah teman yang kebetulan menjadi caleg, saya selalu katakan, bahwa membangun merek agar kemudian dipilih tak bisa dilakukan ujug-ujug (tiba-tiba, dalam waktu singkat). Perlu waktu dan tak sekedar memasang baliho, poster atau menyebar kartu nama dengan foto gagahnya. Semua alat kampanye itu hanya sebatas media membangun awareness, pemahaman bahwa Anda maju dalam pencalonan dengan harapan dipilih oleh rakyat. Tapi, urusannya tidak sampai di sini. Rakyat tidak serta merta menjatuhkan pilihannya kepada Anda, karena belum ada kepercayaan yang Anda bangun kepada rakyat, tidak ada brand value yang Anda sodorkan kepada rakyat.
Untuk gampangnya, saya selalu mengibaratkan bagaimana kita dagangan produk kepada konsumen. Diantara sederet air minum dalam kemasan (AMDK), konsumen tentu hanya menjatuhkan pilihannya kepada produk AMDK yang bisa memberi nilai pada dirinya. Misalnya, AMDK yang bisa menambah tenaga, atau karena mengandung O2 yang banyak. Dalam soal gaya, kemasannya nggak malu-maluin si konsumen. Kemudian, memberi rasa aman karena gak buat sakit perut jika dikonsumsi.
Dalam soal caleg, brand value apa yang ditawarkan? Nggak cukup caleg katakan bahwa jika aku terpilih, aku akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Jika aku terpilih, akan ku perjuangkan Samarinda bebas banjir. Bagaimana bisa memperjuangkan Samarinda bebas banjir, kalau selama ini bicara banjir pun tak pernah. Jangan coba-coba membangun merek menjadi sesuatu yang Anda tidak punya. Anda hanya akan dinilai omong kosong oleh pemilih.
Seorang sahabat yang selama ini dikenal sebagai penggiat lingkungan dan kebetulan ikut bertarung dalam Pemilu legislatif 2009, menurut saya sudah tepat jika merek yang ia bangun adalah sebagai pejuang lingkungan. Pemilih akan percaya, karena selama ini sudah terbukti, apapun yang keluar dari mulutnya di media massa, apapun tindak tanduknya selama ini baik yang terekspose maupun tidak terekspose di media massa hanya bicara soal lingkungan.
Namun, kepada sahabat saya ini saya katakan, bahwa tantangan terbesar Anda sekarang adalah menghadapi situasi dimana rakyat kita kurang peduli dengan masalah lingkungan. Sehingga, bisa jadi, apa yang Anda jual tidak menarik di mata pemilih.Karenanya, pilihlah tema kampanye yang benar-benar menyentuh kepentingan pemilih. Bisa saja soal upaya mengatasi banjir. Bangun sebuah nilai manfaat, bahwa jika Anda terpilih, maka rakyat mendapat manfaat dengan perjuangan Anda di legislatif nanti. Brand is value!

Minggu, 17 Agustus 2008

JK: Pakai Merek Nama Indonesia



JAKARTA--Wapres M Jusuf Kalla meminta pelaku industri hortikultura Indonesia untuk melakukan penamaan (branding) produk buah dalam negeri dengan nama-nama Indonesia dengan tetap memperhatikan jaminan mutu agar langkah itu tidak merugikan image komoditas tersebut di pasaran."Untuk itu, kita perlu melakukan penamaan (nama-nama Indonesia) secara bertahap dan itu dikaitkan dengan pemberian image produk melalui sistem jaminan kualitas, grading, branding dan pengemasan yang prima baik sesuai dengan permintaan pasar," kata Dirjen Hortikultura Departemen Pertanian Ahmad Dimyati Dimyati mengutip Wapres Jusuf Kalla pada konferensi pers usai pertemuan dengan Wapres di Jakarta, Senin.Wapres Jusuf kalla menerima beberapa orang yang peduli dengan produk dalam negeri dan berkeinginan melakukan gerakan untuk nasionalisasi merk-merk (branding) produk dalam negeri, seperti buah-buahan, rumah sakit maupun yang lainnya. Hadir dalam pertemuan tersebut antara lain pakar komunikasi Effendy Gozali, Dirut PT Sido Muncul Irwan Hidayat, Diurt Mekar Sari Harry Tjanyono, peneliti Sobir, Dirjen Hortikultural Deptan Ahmad Dimyati dan lainnya.Menurut Dimyati, dalam pertemuan tersebut Wapres menyatakan mendukung gerakan masyarakat pendukung nasionalisasi branding produk buah Indonesia. Selama ini, beberapa produk dalam negeri ketika dipasarkan menggunakan nama-nama luar. Dimyati memberikan contoh seperti pepaya hasil penelitian ITB dengan varietas IPB 6, ternyata di pasarkan dengan nama Pepaya Bangkok. Sedangkan Pepaya IPB 9 dipasarkan dengan nama Pepaya Jamaika.Dimyati mengakui penamaan buah dengan menggunakan nama asing selama ini dinilai merugikan pencipta produk tersebut karena penciptanya tidak mendaftarkan varitas tersebut ke lembaga perlinduingan branding produk hasil pertanian. Untuk itu, dia mengatakan penamaan kembali produk yang sudah terlanjur digunakan negara lain itu perlu dilakukan.Menurut dia, selain itu untuk bisa menguasai pasar dalam negeri,pelaku industri buah-buahan juga perlu menjamin kontinuitas suplaimelalui pengembangan teknologi. Dimyati mencontohkan teknologi yang tengah dikembangkan Departemen Pertanian untuk menciptakan buah mangga yang tidak mengenal musim panen sebagaimana mangga konvensional."Sekarang dikembangkan berbagai teknologi pembuahan di luar musim, misalnya mangga di luar bulan panen konvensional, " katanya.Sementara itu, Dirut PT Sido Muncul, Irwan Hidayat, mengakui konsumen dalam negeri lebih memilih produk dengan nama asing karena image produk tersebut di pasaran lebih bernilai. Akan tetapi dia menyebutkan untuk mempromosikan produk dengan branding dalam negeri diperlukan upaya untuk menggugah rasa nasionalisme melalui penamaan produk tersebut."Gerakan ini supaya menggugah orang memulai menyadari apakah kalau memakai nama indonesia harus lebih murah. Orang beri nama California, Jamaika, jadi mahal padahal rusak buah itu karena dikirim dari jauh," katanya saat didampingi konsultan komunikasi Efendi Gozali, pakar pertanian dari Institut Pertanian Bogor Sobir serta Harry Tanjung dari kelompok usaha Mekar Sari.Irwan menyatakan pada dasarnya produk dalam negeri tidak kalah dengan produk dari luar. Begitu juga dengan tenaga ahli di berbagai sektor, termasuk konsultan untuk pembangunan bandara yang bisa lebih murah sampai 50% dibandingkan dengan menggunakan tenaga asing."Apakah dengan nama kita, kita menjadi tidak bernilai, bahkan apakah meski dari luar lebih baik. Yang paling memahami masalah di dalam negeri adalah bangsa sendiri," ujar dia menegaskan. (antara/pur) Republika.co.id