Senin, 11 Agustus 2008

Terlambat, Membangun Merek PON Kaltim

UPAYA membangun merek PON XVII Kaltim sebagai event olahraga akbar yang ditunggu-tunggu masyarakat pelaksanaannya, dipastikan sudah terlambat. Tidak cukup waktu untuk mengejar ketertinggalan. PON Kaltim akhirnya hanya akan menjadi sebuah event olahraga biasa, yang kesemarakannya hanya dirasakan pada saat pembukaan dan penutupan.
”Saya melihat, tidak ada upaya komunikasi pemasaran terpadu untuk membangun merek PON Kaltim. Bagian promosi sibuk dengan urusan mencari sponsor, sementara Pemerintah atau sub PB PON sibuk dengan urusan membangun venue. Tidak ada yang ngurusi komunikasi pemasaran untuk membangun merek PON Kaltim sebagai sebuah even akbar olahraga nasional,” kata Eko Satiya Hushada, konsultan merek dan public relation PT Esa Communications, kemarin.
Membangun merek dimaksud, menurut Eko, yakni membangun iklim kesemarakan PON di masyarakat. Ukuran kesuksesan merek PON (ekuitas merek), yakni ketika terbangun iklim demam PON di masyarakat. ”Di sana sini orang membicarakan PON. Masyarakat menunggu dan bahkan ikut terlibat menyambut event ini. Sekarang, jangankan demam PON, nuansa PON saja tidak dirasakan,” kata Eko, yang juga dosen Ilmu Komunikasi Fisipol Unmul ini.
Dikatakan, seharusnya PB PON memisahkan bagian promosi dengan urusan penggalangan dana. Karena urusan membangun merek tidak bisa dibebankan dengan kewajiban mencari sponsor.
”Akhirnya ya seperti ini, urusan penggalangan sponsor tidak maksimal, urusan membangun merek PON tidak dilakukan,” ujarnya.
Menurut Eko, membangun iklim demam PON tidak cukup dengan hanya memasang baliho dan umbul-umbul. Tetapi lewat sebuah aktivitas komunikasi pemasaran terpadu. Komunikasi pemasaran adalah bauran antara strategi komunikasi dan pemasaran.
Pemasangan baliho atau umbul-umbul, menurut Eko, hanya satu dari sekian aktivitas komunikasi pemasaran, yang masuk dalam aktivitas promosi. Untuk promosi, agar maksimal, harus menggunakan semua lini, yakni above the line (ATL) dan Below the Line (BTL). ATL adalah promosi di media massa, sementara BTL non media massa seperti bilboard, umbul-umbul dan event.
”Strategi yang efektif, yakni strategi word of mouth (WOM) atau strategi dari mulut ke mulut. Di strategi ini ada yang disebut buzz marketing, yakni menggunakan kegiatan hiburan atau berita yang menarik, agar orang membicarakan merek Anda, dalam hal ini PON. Ada lagi yang disebut dengan community marketing, yakni membentuk atau mendukung ceruk komunitas yang dengan senang hati membagi ketertarikan mereka terhadap brand,” bebernya.
Menjual PON, menurut Eko, sama dengan menjual produk. Pemilik brand jauh hari sudah harus melakukan aktivitas brand, ibaratnya pra launching. Misalnya dengan menggelar kegiatan olahraga baik sekala kecil maupun besar.
”Selama satu tahun, misalnya, tidak ada hari tanpa event olahraga baik di tingkat kabupaten kota, kecamatan bahkan kampung. Pokoknya, ramai terus,” ujar Eko.
Kemudian, di sana sini para pedagang sudah menjual berbagai macam hal yang berkenaan dengan PON, mulai dari baju hingga merchandise. ”Yang terjadi sekarang, masyarakat cuek dengan PON, karena tidak merasa bagian dari PON itu sendiri. Sejak awal tidak dilibatkan. Masyarakat tahunya, bahwa PON ribut ini, ribut itu, sampai-sampai ada cagub yang disebut sontoloyo karena dinilai tidak peduli dengan PON. Inilah tingkat kecamuhan PON yang sudah sangat luar biasa,” ujar Eko, yang juga konsultan merek salah satu cagub.
Menurut Eko, sudah terlambat untuk membangun iklim semarak PON. Kalau pun mau, paling hanya sebatas memasang bilboard, iklan di koran dan beberapa aktivitas promosi lainnya.
”Banyak pelajaran yang bisa ditarik dari PON Kaltim ini. Kesimpulannya, kita tidak siap menjadi tuan rumah. Ukuran kesuksesan PON tidak hanya pada kesiapan venue, tetapi juga keterlibatan masyarakat. PON Kaltim tidak berhasil menjadi merek sebuah even akbar olahraga nasional,” ujar Eko (**)

Tidak ada komentar: