Minggu, 29 Maret 2009

Brand is Trust, Brand is Value

Oleh: Eko Satiya Hushada

DUA pekan lalu saat di Jakarta, saya mengalami kejadian yang sangat tak mengenakkan. Walau separohnya adalah kelalaian saya, tetap membuat hati ini tak nyaman.
Ceritanya berawal dari telepon seorang sahabat yang mengajak makan malam, sekaligus membicarakan rencana presentasi di depan Dirjen Dephut berkenaan dengan proyek yang sedang saya kerjakan. Karena baru tiba di Jakarta malam hari, sehingga hanya sempat meletakkan tas di hotel di bilangan Gatot Subroto. Saya pun kembali jalan dengan menggunakan taksi.
Saking terburu-burunya, saya mengambil taksi apa aja yang kebetulan menurunkan penumpang di depan lobi hotel. Biasanya, di Jakarta saya hanya mau taksi Blue Bird. Taksi ini memberi rasa aman dan nyaman. Walau tidak terlalu hafal jalanan ibukota, tapi tak pernah saya dibawa mutar-mutar oleh sang sopir untuk membengkakkan angka di argo. Kali ini, saya mempercayakan taksi dengan nama JC (inisial) dengan body warna putih. Yang penting cepat sampai, begitu kalimat dalam hati.
Kebetulan pula, saat naik ke dalam taksi, saya sedang menerima telepon. ”Senayan City, Bang,” kata saya sambil terus menelpon. Setelah bicara di telepon cukup lama, saya tak lagi melihat-lihat argo dan baru melihatnya ketika taksi memasuki halaman Senayan City. Rp71.000, demikian tertulis di argo. Saya pun kaget. ”Betul itu Rp71 ribu?,” tanya saya ke sopir muda penggemar house musik itu. Karena sepanjang jalan, sopir yang hanya mengenakan kaos oblong, bukan baju seragam dinas itu menyalakan lagu yang biasa dipakai di diskotek.
”Betul, Pak,” jawabnya. Saya pun mulai emosi. ”Kau kalau mau bohong, jangan sama aku. Salah orang kau!. Pasti angkanya tidak mulai dari nol tadi” kata ku lagi. ”Betul, Pak. Dari nol,” jawabnya. Tak enak karena di belakang mobil lain mulai ngantri, saya pun membayarnya, karena saya sadar separohnya memang kesalahan saya; tak melihat argo sejak awal. Padahal normalnya Gatot Subroto ke Senayan City, semahal-mahalnya paling Rp25 ribu. Itu sudah pakai macet.
”Seumur hidup, aku tak akan menginjakkan kaki ku ke taksi mu,” kata saya menggerutu dalam hati. Kepercayaan saya sudah hilang, saya sudah menghapus bahkan mem-black list nama JC di benak saya untuk urusan angkutan di Jakarta walau dalam keadaan kepepet sekalipun. Brand is trust!
***
Di tengah hiruk pikuk kampanye Pemilu Legislatif 2009, foto wajah caleg berhamburan di jalanan, mulai dari jalan protokol hingga jalan kampung. Dengan sistem suara terbanyak, semua caleg memang punya peluang yang sama untuk lolos ke gedung wakil rakyat. Jadi, jangan kaget dan jengah jika melihat banyaknya alat kampanye saat ini.
Semua caleg berupaya tampil kreatif, mencuri perhatian pemilih. Mulai dari foto ala model hingga slogan heroik. Para caleg kita sudah sadar marketing, bahwa salah satu upaya membangun merek adalah membangun brand awareness (pemahaman merek) dan diferensiasi. Membangun brand awareness dilakukan lewat pemanfaatan media above the line (ATL) maupun below the line (BTL), sementara diferensiasi dilakukan dengan pilihan foto, slogan, tema kampanye dan sebagainya. Walau tak sedikit kreatifitas caleg membuat kita geleng-geleng kepala, miris.
Kepada sejumlah teman yang kebetulan menjadi caleg, saya selalu katakan, bahwa membangun merek agar kemudian dipilih tak bisa dilakukan ujug-ujug (tiba-tiba, dalam waktu singkat). Perlu waktu dan tak sekedar memasang baliho, poster atau menyebar kartu nama dengan foto gagahnya. Semua alat kampanye itu hanya sebatas media membangun awareness, pemahaman bahwa Anda maju dalam pencalonan dengan harapan dipilih oleh rakyat. Tapi, urusannya tidak sampai di sini. Rakyat tidak serta merta menjatuhkan pilihannya kepada Anda, karena belum ada kepercayaan yang Anda bangun kepada rakyat, tidak ada brand value yang Anda sodorkan kepada rakyat.
Untuk gampangnya, saya selalu mengibaratkan bagaimana kita dagangan produk kepada konsumen. Diantara sederet air minum dalam kemasan (AMDK), konsumen tentu hanya menjatuhkan pilihannya kepada produk AMDK yang bisa memberi nilai pada dirinya. Misalnya, AMDK yang bisa menambah tenaga, atau karena mengandung O2 yang banyak. Dalam soal gaya, kemasannya nggak malu-maluin si konsumen. Kemudian, memberi rasa aman karena gak buat sakit perut jika dikonsumsi.
Dalam soal caleg, brand value apa yang ditawarkan? Nggak cukup caleg katakan bahwa jika aku terpilih, aku akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Jika aku terpilih, akan ku perjuangkan Samarinda bebas banjir. Bagaimana bisa memperjuangkan Samarinda bebas banjir, kalau selama ini bicara banjir pun tak pernah. Jangan coba-coba membangun merek menjadi sesuatu yang Anda tidak punya. Anda hanya akan dinilai omong kosong oleh pemilih.
Seorang sahabat yang selama ini dikenal sebagai penggiat lingkungan dan kebetulan ikut bertarung dalam Pemilu legislatif 2009, menurut saya sudah tepat jika merek yang ia bangun adalah sebagai pejuang lingkungan. Pemilih akan percaya, karena selama ini sudah terbukti, apapun yang keluar dari mulutnya di media massa, apapun tindak tanduknya selama ini baik yang terekspose maupun tidak terekspose di media massa hanya bicara soal lingkungan.
Namun, kepada sahabat saya ini saya katakan, bahwa tantangan terbesar Anda sekarang adalah menghadapi situasi dimana rakyat kita kurang peduli dengan masalah lingkungan. Sehingga, bisa jadi, apa yang Anda jual tidak menarik di mata pemilih.Karenanya, pilihlah tema kampanye yang benar-benar menyentuh kepentingan pemilih. Bisa saja soal upaya mengatasi banjir. Bangun sebuah nilai manfaat, bahwa jika Anda terpilih, maka rakyat mendapat manfaat dengan perjuangan Anda di legislatif nanti. Brand is value!

Tidak ada komentar: