Senin, 04 Mei 2009

Tahun Kunjungan Kaltim: Mau Jualan Apa?

KALTIM POST, 3 MEI 2009


DALAM beberapa hari belakangan ini, di sejumlah ruas jalan di Samarinda dipasangi spanduk dan baliho promosi tahun kunjungan Kaltim atau Visit East Kalimantan 2009. Jumlahnya tidak cukup banyak. Ada yang memuat foto Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim mengenakan atribut Suku Dayak, ada juga spanduk bertuliskan ’Ayo Tamasya ke Kaltim’.
Saya menyebut program ini sebagai program ’jualan diri setengah hati’. Mau jualan dan berharap laku, tapi tidak melakukan upaya marketing yang maksimal agar produknya diketahui konsumen, konsumen tertarik dan kemudian membelinya.
Kita mulai dari produk. Ketika Pemerintah Kaltim mencanangkan program kunjungan Kaltim, pertanyaanya kemudian, Kaltim mau jualan apa? Positioning apa yang dibangun Kaltim? Kaltim sebagai daerah wisata alam? Wisata belanja, kuliner atau wisata budaya?
Jakarta yang lebih dulu melaksanakan program ini dengan slogan Enjoy Jakarta, membangun positioning-nya sebagai surganya belanja, makanan, budaya dan kota dengan sejumlah tempat peninggalan bersejarah. Ada banyak pilihan tempat belanja mulai dari pasar tradisional hingga mal. Ada banyak pilihan tempat makan mulai dari warung kaki lima pusat kuliner hingga restoran. Juga banyak peninggalan bersejarah yang dibangun sejak 500 tahun lalu serta kekayaan budaya betawi.
Semua dijual secara terintegrasi dalam satu paket ’Enjoy Jakarta’, yang didukung oleh sebuah strategi pemasaran yang baik. Tak sekedar spanduk atau baliho. Kaltim seharusnya belajar banyak dari Jakarta.
Dalam sebuah kegiatan ’masyarakat public relation’ di Jakarta beberapa pekan lalu, saya sempat bertemu dengan Rhenald Kasali, pakar bisnis dan ketua program pasca sarjana ilmu manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dari ngobrol singkat itu, saya baru tahu bahwa penulis buku laris ’Change!’ itu adalah konsultan ekonomi bisnis Pemprov Kaltim. Sayangnya, saya lebih banyak bicara soal ke-PR-an ketika itu, sehingga luput bertanya soal keterlibatannya di program Visit East Kaltim 2009. Tapi saya yakin, Dinas Pariwisata Kaltim pasti tidak minta pendapat Rhenald Kasali untuk program Visit East Kalimantan ini, sehingga tidak maksimal dalam berjualan. Jika marketing tidak digarap dengan benar, jangan berharap dagangan laku terjual.
Tak sedikit memang yang mengira bahwa marketing hanya sekedar selling (menjual). Padahal, ini dua hal yang berbeda. Tak sedikit pula yang terjebak bahwa sukses jualan ada para kekuatan beriklan dan promosi. Hal ini hanya mendukung awarenes (pemahaman), tidak sampai pada upaya mempengaruhi fikiran konsumen untuk membeli, apalagi mencapai ekuitas merek (produk yang dibicarakan, dipilih dan direkomendasikan kepada orang lain).
Dalam marketing, positioning adalah salah satu unsur mendasar. Di positioning mengandung dua unsur utama, segmentasi dan diferensiasi (pembeda). Tentukan segmentasi pasar, kemudian tentukan apa yang membedakannya dengan merek lain.
Kaltim tidak melakukan semua ini. Saya melihat, semangat Visit East Kalimantan 2009 hanya sebatas menjual pariwisata. Ini pun perlu dipertanyakan, pariwisata mana yang mau dijual? Ini tidak cukup tergambar.
Tak hanya pariwisata alam, Kaltim sebenarnya punya potensi yang besar untuk menjual kulinernya. Ini karena kekayaan hasil laut dan sungainya. Ditambah dengan banyaknya restoran atau rumah makan. Belum lagi masakan khas Banjar yang banyak digemari. Hanya, tidak ada campur tangan Pemerintah Daerah untuk menjadikan potensi ini sebagai sebuah kekuatan, misalnya dengan menjadikan sebuah kawasan di Samarinda atau Balikpapan sebagai kawasan wisata kuliner.
Lantas, upaya promosi apa yang dilakukan Pemprov Kaltim untuk mensukseskan program Visit East Kalimantan 2009 ini? Ternyata tidak juga maksimal. Ironisnya, untuk mencari tahu apa yang bisa dikunjungi di Kaltim lewat dunia maya, tidak menemukan jawaban. Tidak ada Kaltim official travel website. Ketika mencari Kaltim di fasilitas pencari google, yang pertama muncul adalah website milik Pemprov Kaltim, kemudian website Kaltim Post dan disusul beberapa website dengan konten Kaltim lainnya.
Bahkandi website Pemprov Kaltim, tak satupun web yang bicara soal program ini. Tak ada semangat Visit East Kalimantan 2009 yang tergambar di sana. Bisa jadi, Pemrov Kaltim khususnya Dinas Pariwisata Kaltim belum menyadari bahwa internet kini menjadi sarana efektif untuk promosi yang dapat menghubungkan masyarakat di bumi satu sama lainnya. Selain dapat menyajikan informasi, internet juga efektif untuk menciptakan buzz marketing.
Di daerah sendiri, tidak tampak sebagai daerah yang sedang jualan. Bagaimana mau laku, bersolek saja tak. Mulai dari pintu kedatangan di bandara, pusat kerajinan maupun oleh-oleh Kaltim, sama sekali tak menggambarkan bahwa Kaltim sedang bersiap-siap menerima tamu yang berkunjung ke Kaltim.
Dalam soal pesan dan pilihan media, lagi-lagi tidak tepat. Bagaimana bisa selembar spanduk bertuliskan ’Ayo Tamasya ke Kaltim’ dipasang di Samarinda yang berarti target pesan ditujukan kepada orang Kaltim, atau orang yang sedang berada di Kaltim. Spanduk dengan pesan seperti ini lebih tepat dipasang di daerah lain dengan pilihan lokasi, di bandara misalnya. Untuk apa orang Kaltim disuruh berwisata ke Kaltim?
Dinas Pariwisata juga mengatakan bahwa mereka secara rutin menggelar promosi di Taman Mini Indonesia. Pertanyaannya, mengapa Taman Mini Indonesia menjadi pilihan tempat berpromosi? Apakah benar pengunjung Taman Mini adalah target dari program ini? Mengapa tidak melakukan promosi di Mal, misalnya. Buka saja satu stand. Lengkapi brosur dan alat kampanye lainnya. Sertakan juga Hudoq sebagai pemikat. Bisa juga di bandara kedatangan internasional, yang sudah pasti banyak target market di sana.
Saya pesimis program ini sukses. Slogan ’Kaltim untuk Semua’ yang mengiringi pencanangan Visit East Kaltim oleh Gubernur Awang Faroek Ishak beberapa waktu lalu, bisa saja berubah menjadi ’Kaltim untuk Bubuhannya Jua..”. (*)

Tidak ada komentar: