Senin, 11 Mei 2009

Ayo, ‘Selingkuh’ dengan Konsumen!


HARI Minggu kemarin saya diajak istri ke salah satu pusat perbelanjaan di Samarinda untuk membeli kado anak sahabatnya yang berusia 3 tahun, perempuan, sedang centil-centilnya. Baju menjadi pilihan untuk dijadikan kado.
Di toko baju, saya menunjuk salah satu baju anak perempuan yang dipajang. ”Ini bagus. Sederhana tapi lucu kalau dipakai,” begitu kata saya. Tetapi ternyata istri saya nggak setuju. Katanya, baju yang saya tunjuk itu bakalan tidak dipakaikan ke anak sahabatnya, karena itu bukan seleranya.
”Selera mamanya ya yang begini ini. Semakin menor dan norak, semakin suka dia. Kalau kita kasih yang ayah kasih tunjuk itu, mana mau dipakainya,” ujar istri saya.
Ternyata istri saya sangat memahami selera dan prilaku sahabatnya. Mereka memang sudah berteman sejak beberapa tahun lalu. saling berbagi, teman diskusi atau bahkan curhat. Apapun tentang sahabatnya, istri saya tahu semuanya. Nomor sepatu, warna favoritnya, makanan kesukaannya hingga isi dompetnya.
Karena itu, ada semacam saling ketergantungan dan saling mengisi. Jika tak bertukar kabar dua hari saja, istri saya gelisah. ”Apa kabar dia ya? Apa sakit? Apa teleponnya rusak? Atau, apa ya? Nggak ada kabarnya sudah dua hari,” begitu kira-kira yang ada di fikiran istri saya jika tak ada kontak dengan sahabatnya.
Dalam marketing, memahami secara mendalam prilaku dan pemikiran konsumen (consumer insight ) menjadi syarat mutlak. Kita tak mungkin mampu menciptakan produk yang bisa diterima pasar jika kita sendiri tak memahami konsumennya. Bagaimana mungkin kita dapat menciptakan pola layanan jika kita tak memahami secara mendalam prilaku konsumen.
Di status Facebook hari ini saya menuliskan bahwa inti dari marketing itu adalah PDB, singkatan dari positioning, diferentation & brand. Tanpa PDB, produk/jasa akan menjadi massal (me too) dan gampang dicontoh oleh pesaing.
Lantas, apa hubungannya consumer insight dengan PDB? Sangat berkaitan. Untuk menentukan positioning harus melalui pemahaman yang mendalam terhadap konsumen. Begitu juga menciptakan diferensiasi dan merek (brand).
Untuk menggali informasi yang lebih mendalam pada konsumen, bisa dilakukan lewat riset etnografi. Di buku Qualitative Research Methods in Public Relation & Marketing Communications karya Christine Daymon & Immy Holloway disebutkan, riset Etnografi membawa peneliti membenamkan diri ke dalam sebuah kelompok, organisasi atau komunitas di lapangan dalam waktu yang lebih panjang. Artinya, kita yang sedang ingin menggali lebih dalam prilaku, kebiasaan dan pemikiran konsumen, ikut dalam kehidupan konsumen dalam waktu yang lebih panjan dibanding riset lainnya.
Riset etnografi ini bisa dilakukan siapa saja, termasuk Anda. Tentukan jenis produk apa yang akan Anda ciptakan, layanan seperti apa yang akan Anda berikan kepada konsumen. Setelah menentukan segmentasi, pilih dua atau tiga konsumen yang dapat mewakili konsumen lainnya untuk dijadikan sample. Setelah itu, hiduplah bersamanya dalam beberapa waktu. Catat semua prilakunya, kebiasaannya dan isi fikirannya. Setelah itu, Anda dapat membuat kesimpulan yang dapat menjadi dasar dalam menciptakan produk, menentukan positioning, diferensiasi dan merek.
Tak pun melakukan riset yang sistematis dan ilmiah, memahami konsumen lebih mendalam dapat dilakukan dengan cara lebih dekat dengan konsumen. Agar lebih dekat, saya menganjurkan agar Anda ’selingkuh’ dengan konsumen. Namun, bukan selingkuh dalam bingkai asmara. Intinya, dekatlah dengan konsumen, pahami secara mendalam prilaku dan isi fikiran konsumen Anda. Kedekatan Anda juga akan membangun hubungan yang berujung pada loyalitas pelanggan. (*)

Tidak ada komentar: