Jumat, 08 Mei 2009

Rebranding tak Sekedar Rebonding



KEMARIN pagi saya mencukur habis rambut saya. Walau sebelumnya memang selalu cepak, tapi kali ini benar-benar plontos. Ketika tiba di kantor, anak-anak tampak kaget dan bertanya,”rebranding nih, bos?” Sekenanya aja saya menjawab,”Iya, jadi lelaki yang lebih macho dan seksi.” Padahal, urusan rambut plontos ini hanya karena persoalan teknis; cukur rambut yang sudah saya pakai sejak 10 tahun lalu itu tumpul sehingga membuat rambut saya coel. Langsung saja dicukur habis. Hehehe…
Dalam beberapa hari ini kata re-branding agak sering saya tulis di status Facebook saya. Menjadi lebih sering lagi ditulis karena sempat menjadi diskusi dengan sejumlah sahabat. “Wiranto (cawapres Golkar-Hanura) perlu rebranding, karena brand crisis kah, regulation change kah atau customer change?” tanya Yusan Triananda, salah seorang sahabat, bos Mesra Group.
Re-branding bukanlah rebonding. Bahkan pengertiannya pun berbeda. Jika rebonding meluruskan rambut, re-branding, singkatnya adalah melakukan perubahan menyeluruh pada unsur-unsur merek, baik secara produk, marketing maupun komunikasi.
Pada ‘kamus terbuka’ Wikipedia disebutkan, rebranding is the process by which a product or service developed with one brand, company or product line affiliation is marketed or distributed with a different identity. This may involve radical changes to the brand's logo, brand name, image, marketing strategy, and advertising themes. These changes are typically aimed at the repositioning of the brand/company, usually in an attempt to distance itself from certain negative connotations of the previous branding, or to move the brand upmarket.
Untuk melakukan rebranding biasanya terlebih dahulu mengukur kinerja merek. Jangan sampai rebranding hanya dilakukan karena ingin suasana baru atau penyegaran merek. Pertimbangan ini hanya akan merusak merek di pasar.
Mengukur kinerja merek yakni pada tingkat kedikenalan merek (Brand Awareness), tingkat pemahaman merek (Brand Knowledge), tingkat persepsi merek (Brand Image), tingkat kedipilihan merek (Brand Preference) serta tingkat loyalitas konsumen pada merek (Brand Loyality).
Brand awareness menjadi syarat utama bagi sebuah merek. Dikenal dulu, baru dibeli. Bagaimana mungkin sebuah merek kuat di pasar atau di benak konsumen jika ia tak dikenal. Tapi ada juga merek yang sudah sangat dikenal, tetapi tidak dipilih atau dibeli. Berarti, ia lebih dikenal sebagai merek yang negatif.
Mengukur brand knowledge, berarti mengukur tingkat pemahaman konsumen terhadap merek. Ini lebih kepada pemahaman manfaat pada merek.
Sementara mengukur brand image adalah mengukur tingkat persepsi konsumen terhadap merek. Jika pemilik merek membangun persepsi mereknya sebagai produk yang memberi manfaat ramah lingkungan namun ternyata yang terbentuk di benak konsumen adalah manfaat yang sebaliknya, berarti perlu dilakukan rebranding.
Tingkat kedipilihan merek, yakni mengukur seberapa tingginya keinginan konsumen memilih merek kita dibanding merek pesaing. Terakhir, mengukur tingkat loyalitas merek. Artinya, seberapa loyalnya konsumen pada merek kita. Loyal di sini tak sekedar melakukan pembelian berulang, namun sudah pada tingkat konsumen yang menjadi evangelist (pembicara, merekomendasikan) bagi merek kita. Jika merek kita sudah mencapai tingkat cult brand (merek yang dipuja/merek sudah menjadi agama), berarti anda harus menjauhkan dari keinginan melakukan rebranding.
Melakukan rebranding juga biasanya berdasarkan pertimbangan Brand Crisis, Competitor Change, Regulation Change atau Strategic Change dan
Customer Change. Sebagaimana pertanyaan sahabat saya, apa yang mendasari Wiranto harus melakukan rebranding, tak lain adalah atas pertimbangan brand crisis. Ini karena pada Wiranto melekat persepsi merek bahwa ia sebagai pelaku pelanggaran HAM.
Lantas, apakah dalam melakukan rebranding, semua unsur merek harus diubah? Tergantung kebutuhannya. Re-Branding bisa dilakukan dengan lima cara, yakni Re-Branding on Strategy, Positioning, Identity, Communication dan atau Re-Organize Branding Management. Pilih salah satunya.
Yang pasti, rebranding tak hanya sekedar ‘meluruskan’ persoalan yang dihadapi merek. Tetapi membangun kembali ‘wajah’ baru, dengan kekuatan positioning baru, identitas merek baru, strategi marketing yang baru dan komunikasi yang baru. Jangan lupa; diferensiasi & value. Jika boleh meminjam istilah tata rambut, rebranding tak sekedar rebonding.

Tidak ada komentar: